Thursday, 4 June 2020

Jokowi Digugat soal Pemblokiran Internet di Papua karena Kritik Tak Pernah Direspons

Jokowi Digugat soal Pemblokiran Internet di Papua karena Kritik Tak Pernah Direspons

Jokowi Digugat soal Pemblokiran Internet di Papua karena Kritik Tak Pernah Direspons

Pembela Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara (SAFEnet) mengungkapkan alasan menggugat Presiden dan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta terkait pemblokiran internet di Papua. Langkah itu ditempuh SAFEnet setelah aksi-aksi kritik sebelumnya tak mendapat respons baik pihak pemerintah.

Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet, Ika Ningtyas menyebut sebelum melayangkan gugatan, tercatat pihaknya telah dua kali mencoba untuk memberikan masukan kepada pemerintah melalui petisi online maupun bertemu langsung perihal pemblokiran internet di Papua.

"Semisal kita sudah melakukan petisi online untuk meminta kepada pemerintah dalam hal ini Kominfo untuk membuka internet yang ada di Papua. Bahkan beberapa pengurus SAFEnet sudah bertemu langsung, bersama pemerintah untuk menjelaskan bagaimana aspek dan dampak dari pemblokiran internet yang terjadi di Papua," kata Ika saat konferensi pers secara daring di akun Youtube Yayasan LBH Indonesia, Kamis (4/6).

"Tetapi karena dua upaya yang dilakukan SAFEnet kemudian tidak menghasilkan hasil yang bagus. Ternyata pemerintah tetap melanjutkan untuk pemblokiran yang dilakukan di Papua. Maka SAFEnet memilih untuk menempuh jalur hukum bersama AJI (Aliansi Jurnalis Independen) pada November 2019," sambungnya.

Menurutnya, tindakan yang dilakukan pemerintah untuk memblokir akses internet di Papua haruslah diuji, apakah telah sesuai dengan prosedur yang benar. Termasuk dampak sebenarnya yang terjadi ketika pemblokiran ini diambil.

"Mangkanya ini menjadi pilihan terakhir yang diambil sebagai upaya terakhir dari SAFEnet, karena dua usaha sebelumnya tidak mendapatkan respon yang bagus dari pemerintah," ungkapnya.

Pemblokiran Internet Jadi Alat Pemerintah
Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum AJI Abdul Manan menilai, langkah pemerintah yang sudah dua kali, yakni pada Mei 2019 dan Agustus 2019, melakukan perlambatan dan pemblokiran internet, adalah tindakan yang tidak profesional.

"Nah dari dua peristiwa itu jadinya kita berfikir, pemerintah ini akhirnya seperti menjadikan perlambatan internet dan pemblokiran menjadi tools untuk mengendalikan keadaan," tutur Manan.

Atas hal itu, Manan menegaskan jika tindakan pelambatan internet oleh pemerintah sangatlah berdampak. sebagaimana kerja jurnalis mengeluh kesulitan memberikan laporan peristiwa, atau bahkan masyarakat yang juga sulit menghubungi pihak keluarga atau teman.

Hasil Putusan
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tata Usaha Jakarta menerima putusan gugatan yang diajukan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang diwakili oleh Abdul Manan dan Pembela Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara (SAFEnet) yang Diwakili oleh Damar Juniarto. Gugatan itu terkait perkara pemutusan atau pemblokiran akses internet di Papua.

"Menyatakan bahwa eksepsi tergugat 1 dan tergugat 2 tidak diterima dalam pokok perkara," kata Hakim Ketua Nelvy Christin dalam sidang pembacaan putusan melalui video conference, Rabu (3/6).

Dalam putusan tersebut, pihak tergugat 1 Presiden Jokowi serta tergugat 2 Menteri Komunikasi dan Informatika dihukum untuk membayar biaya perkara tersebut sebesar Rp457 ribu.

"Menghukum tergugat 1 dan tergugat 2 untuk membayar biaya perkara secara tunai sebesar Rp457 ribu," ujarnya.

Diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) oleh tim advokasi pembela kebebasan pers, yang terdiri dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, South East Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), LBH Pers, YLBHI, KontraS, Elsam, dan ICJR.

Gugatan dilayangkan kepada Jokowi dan Kemenkominfo lantaran dianggap menyalahi kekuasaan atas pemadaman internet di Papua dan Papua Barat pada Agustus 2019 hingga September 2019.

No comments:

Post a Comment